I Ketut Arjuna Wiwaha — atau Arjun, begitu orang-orang memanggilnya — pernah jatuh dalam perasaan yang salah. Cinta terlarang yang membuatnya kehilangan arah, membuat jiwanya hancur dalam diam.
Namun, saat ia hampir menyerah pada takdir, hadir seorang gadis bernama Saniscara, yang datang bukan hanya membawa senyum, tapi juga warna yang perlahan memperbaiki luka-lukanya.
Tapi apakah Saniscara benar-benar gadis yang tepat untuknya?
Atau justru Arjun yang harus belajar bahwa tidak semua yang indah bisa dimiliki?
Dia yang sempurna untuk diriku yang biasa.
— I Ketut Arjuna Wiwaha
Kisah cinta pemuda-pemudi Bali yang biasa terjadi di masyarakat.
Yuk mampir dulu kesini kalau mau tau tentang para pemuda-pemudi yang mengalami cinta terlarang, bukan soal perbedaan ekonomi tapi perbedaan kasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11.
🕉️🕉️🕉️
"Arjun!" Sanis menepis tangan Arjuna yang tadi menarik tangannya dari taman bermain itu. Juna menatap Sanis yang masih kesal karena ulahnya itu, bahkan tak menyadari jika ada yang aneh dengan Sanis.
"Kenapa? Kita makan ya, gue tau tempat makan yang paling enak." jawab Juna padanya, ternyata cowok ini tidak mengerti maksudnya.
"Tapi Arjun, Lo harus tanggung jawab." lirih Sanis yang berhenti di tengah keramaian taman kota, banyak orang yang berlalu lalang menatap kedua remaja itu dan berbisik.
Juna kaget dengan pernyataan dari Sanis yang membuat semua orang tertuju padanya. Cowok itu terlihat gelisah dan melihat Sanis menatapnya tajam. Juna menariknya ke dalam mall dekat taman kota. Hanya menyebrangi jalan raya dan menghindari tatapan dari orang-orang di taman tadi.
"Maksudnya apa? Jangan sampai gue di keroyok ya." ucap Juna pada gadis itu yang juga bingung, Juna yang sedikit panik karena ucapannya tadi.
"Iya, tapi lihat ulah Lo ini?" tanya Sanis yang menunjuk pipinya itu. Juna menepuk dahinya, ia lupa jika ada cat air di pipi gadis itu.
"Lo harus tanggung jawab." Pekik Sanis dengan cepat Juna menyudutkan gadis itu ketembok dan meletakkan jari telunjuknya di bibir tipis gadis itu. Jantungnya berdetak kencang dengan posisi seperti itu, mata mereka bertemu seakan dunia berhenti sejenak sekian kalinya ini terjadi, rasanya memang sama seperti sebelumnya. Dengan cepat Sanis mendorong dada bidang Juna menjauh darinya.
"Nih gue ada tissu basah buat Lo." ucap Juna, gadis itu segera membersihkan cat air di pipinya, banyak mata tertuju padanya dan membuat Sanis merinding jika di dekat Juna. Jangankan disini di sekolah saja dia tidak ingin bersama cowok populer ini.

"Eh lihat." Juna menunjuk ke arah kedai es krim yang ada di sudut taman kota. Dari balkon mall disana mereka melihat dua sejoli itu, sepertinya Juna mengenal punggung itu.
"Es krim?" tanya Sanis pada Juna yang menganggukkan kepalanya. Wajah Sanis menjadi cerah lalu ingin beranjak ke tempat es krim itu.
"Ayook" Sanis segera berjalan ke sana tapi tangannya di cekal oleh Juna. Sanis lagi-lagi merenggut kesal dengan ulah Juna .
"Apa? Gue mau es krim." rengek Sanis pada cowok itu yang menunjuk lagi ke arah kedai itu.
"Lo lihat gak dua orang di bangku paling depan?" tanya Juna pada Sanis yang menajamkan matanya yang menganggukkan kepalanya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Sanis pada Juna yang heran dengan sikapnya hari ini.
"Bli Yan sama kak Agni," Sanis kaget dengan jawaban Juna. Belum sempat Sanis melanjutkan kalimatnya, ia sudah di tarik lagi ke tempat lain.
"Makanya kita makan dulu, biar mereka pergi." lanjut Juna yang menarik tangan gadis itu ke dalam sebuah mall dekat taman kota disana.
"Gue denger, disini makanannya enak-enak." ucap Juna yang duduk di bangku sebuah kedai makanan di sana.
Sanis melihat gadis yang tadi pagi menamparnya di toilet bersama dengan teman-temannya itu, mereka keluar dari toko baju. Mungkin toko baju mahal, ini adalah mall dekat taman kota yang ramai di kunjungi oleh temannya, yang mungkin orang kaya.
"Jun, kita pindah hayook." Sanis menarik tangan Juna menjauh dari kedai itu. Cowok itu menahan tangan gadis itu dan tidak membiarkannya pergi.
"Kenapa sih?"
Sanis hanya diam dan menundukkan kepalanya tanpa menatap Juna dan tak ingin melihat gadis itu lagi.
"Jun, makannya jangan disini ya." ucap Sanis pada cowok itu yang menghela nafasnya. Kebiasaan Sanis memang kalau di ajak makan di tempat dia merasa aneh katanya.
"Ayolah Sanis," mohon Juna pada gadis itu yang tetap tidak mau makan di tempat.
"Enggak Juna, gue ngerasa aneh disini." ucap Sanis pada Juna yang setuju dengan permintaan dari Sanis. Alasan Sanis pada Jun yang membuat cowok itu mengalah.
"Ayok, kita pulang." ajak Sanis pada Juna, namun tangannya di tahan oleh cowok itu. Lagi-lagi Sanis tersudutkan oleh cowok itu tangannya mengurungnya di tembok.
"Tapi gue punya syarat," ucap Juna yang mengeluarkan senyum smirk-nya. Sanis yang melihat itu meneguk ludahnya kasar.
................
Sekarang mereka ada di rumah Juna, karena alasan Sanis tadi membuatnya disini. Juna mengambil mangkuk untuk makanan yang tadi Juna beli. Karena Juna yang mengajaknya makan, dan mentraktirnya hari ini.
"Okelah, gak apa-apa sih kalau disini. Kak Ras juga gak akan marah." ucap Sanis pada Juna yang setuju sambil menyiapkan makanannya.
"Kita makan di ruang tamu aja Nis, Lo duluan aja kesana biar gue yang siapin." Sanis menggelengkan kepalanya, ia ikut memindahkan makanannya ke ruang tamu.
"Ini dia mie ayam yang paling enak di kota Denpasar." ucap Juna yang melahap makanannya itu.
"Ouh ya? Seriusan?" tanya Sanis antusias dengan menyantap mie ayam itu juga, memang benar. Ini memang enak pantas saja tadi antreannya panjang.
"Iya, menurut gue." jawab Juna membuat gadis itu kecewa dengan jawabannya. Menurut Juna mie ayam ini enak, berarti ada yang lebih enak lagi dari pada ini.
Sanis menyeruput es tehnya itu dan melihat buku gambarnya tadi yang belum ia selesaikan.
"Proyek gue blm selesai Jun," ucap Sanis yang mengambil alat melukisnya itu. Juna yang juga sadar jika lukisannya belum selesai.
Canda tawa menghiasi ruang tamu, Juna mungkin memulai aksinya membuat hati mereka terisi penuh dengan warna. Malam semakin larut, tanpa mereka sadari waktu mereka bermain berlalu begitu cepat.
"Huh, capek juga ya." ucap Sanis yang mendudukan dirinya di atas sofa. Juna juga ikut serta disana.
"Kita nonton aja gimana?" tanya Juna yang menghidupkan televisi di rumahnya. Sanis menganggukan kepalanya setuju, dan film yang tayang di sana adalah drama Indonesia yang di gemari ibuk-ibuk.
"Hah!?" Juna kembali mematikan televisinya dengan remot, karena malas dengan tayangan yang mungkin kurang berbobot.
"Disini Lo sendirian Jun?" tanya Sanis pada cowok itu yang kembali mengambil alat lukisnya.
Sanis masih setia dengan buku gambarnya sedari tadi ia sampai menggambar sampai 3 lembar dan sekarang ia harus mewarnainya.
"Kadang mama atau sama Bli Yan, kalau kakak gue yang dua lagi sudah nikah." jawab Juna pada Sanis yang menganggukkan kepalanya mengerti.
Rasa kantuk menyerang tiba-tiba dan mereka berdua tertidur dengan posisi duduk kepala Sanis di bahu Juna dan kepala cowok itu kepala Sanis.
Dua orang pria yang datang terkejut karena kondisi ruang tamu yang berantakan ulah dua remaja itu.
...............
Sanis terbangun dan menatap langit-langit ruangan itu yang ia kenal, Yap sekarang ia sudah berada di kamarnya, ia ingat terakhir itu tertidur bersama Juna. Juna? Ya kemarin ia di rumah Juna dan ....
"Mampus!? Lupa pulang kemaren." Sanis mengutuk dirinya sendiri bagaimana bisa tertidur di rumah Juna tanpa ingat pulang.
"Bagaimana nona tidurnya?" tanya Raspati yang ada di sebelahnya. Yak, ada Raspati yang duduk di ranjangnya.

Sanis enggan rasanya menjawab pertanyaan dari kakaknya ini. Ia harus kabur ke kamar mandi sebelum di sidang. Raspati hanya menatap Sanis yang terus menundukkan kepalanya lalu berlari ke kamar mandi.
"Nanti ke balkon ya!" teriak Raspati yang terdengar seperti suara petir, firasatnya gak enak.
Setelah mandi di hari Minggu yang cerah itu, ponselnya berbunyi seperti ada pesan yang di kirim bertubi-tubi.
Sanis mengambil handphonenya itu dan melihat, siapa yang mengirim pesan chat itu sepagi ini.
Arjun : P (10)
Pesan itu ternyata dari Juna membuatnya merasa kesal karena kebiasaannya yang spam huruf P
Rasa kesalnya hilang ketika Dita menghampirinya dan mengatakan tentang Bunda.
"Kak Sanis, di panggil sama kak Ras. Ini tentang bunda." Sanis meletakkan ponselnya itu lalu pergi ke balkon bersama dengan Dita.
Rasanya sangat dekat dengan Bunda sekarang, hatinya selalu bertanya-tanya apakah bunda baik-baik saja sekarang?
Bersambung.......