Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 - Arum
Keesokan harinya…
Pagi itu, di sebuah desa kecil yang berada di pinggir ibu kota, matahari terbit dengan sinar keemasan yang lembut. Udara di desa Aigo selalu berbeda tenang, lebih segar, dan jauh dari hiruk-pikuk gedung serta kendaraan kota besar.
Di sanalah berdiri sebuah sekolah yang cukup dikenal di kecamatan: SMA Negeri 1 Aigo. Sekolah yang menjadi titik pertemuan anak-anak dari berbagai latar belakang, baik dari desa maupun sedikit dari kota.
Rumput halaman masih basah, dedaunan bergetar pelan karena angin lembut, dan penjaga sekolah sibuk membuka gerbang utama. Suasana pagi yang seharusnya tenang itu segera ramai oleh langkah puluhan siswa yang masuk dengan berbagai ekspresi mengantuk, tergesa-gesa, atau semangat.
Di antara keramaian itu, tampak seorang gadis berjalan dengan penuh percaya diri. Rambut panjangnya dikuncir tinggi, bergoyang setiap ia melangkah. Ia mengunyah permen karet tanpa peduli tatapan guru piket, sementara rok sekolahnya jelas lebih pendek dari aturan, dan sepatu putihnya yang cerah juga melanggar peraturan sekolah yang mensyaratkan warna hitam. Dua temannya mengikuti dari belakang, tampak sudah terbiasa melihat tingkahnya.
Itulah Sekar Arum Lestari, gadis cantik berusia 18 tahun, 19 bulan depan. Usianya memang sedikit lebih tua dari teman-temannya karena saat kecil ibu tirinya terlambat memasukkan Arum ke sekolah. Gadis yang memiliki wajah menawan itu bukan terkenal karena menjadi primadona sekolah, melainkan karena kenakalan dan keisengannya hingga para guru sering angkat tangan dibuatnya.
“Tumben nyampe cepat hari ni Rum? Biasanya telat banget lu,” kekeh Amanda, sahabat dekatnya.
“Hei hei apa kalian tidak dengar ada guru baru yang akan datang ke kelas kita hari ini, bagaimana aku bisa melewatkan kesempatan ini bukan,” ucap Arum sambil duduk di kursi kantin sekolah, memainkan ujung rambutnya sambil tersenyum nakal.
Di samping nya, teman-temannya Dilan, Killa, Farel saling pandang. Mereka sudah bersahabat sejak SMP, berlimaan, dan walaupun beberapa dari mereka termasuk anak berprestasi, mereka selalu berurusan dengan keisengan Arum yang tak ada habisnya.
“Kau benar, hadiah apa yang harus kita berikan?” tanya Dilan polos, membuat empat pasang mata lain serentak meliriknya.
“Hadiah banget nih?” sindir Killa, menatap Dilan seolah ia baru saja mengucapkan sesuatu yang sangat berbahaya.
Mereka semua tahu: “hadiah” dalam kamus Arum adalah petaka dalam kamus pihak lain.
“Kau gila, jangan lakukan itu apa kau mau di skor Dilan, kau akan ikut olimpiade, jangan buat orang tua mu kecewa,” tegur Farel serius, menggeleng sambil menatap Arum yang justru tersenyum tidak peduli.
“Itu benar aku juga,” bisik Killa dengan helaan napas panjang. Walaupun ia sering menemani Arum, ia selalu khawatir akibat yang Arum ciptakan.
Mereka menyayangi Arum, tetapi tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu memiliki kekacauan emosional yang hanya mereka yang paling dekat bisa lihat.
Arum tidak ikut ekstrakurikuler karena waktu untuk pulang ke rumah saja ia sudah takut. Belajar pun ia sulit, bukan karena malas, tetapi otaknya tidak begitu cepat menangkap materi dan ia sudah lelah secara mental.
“Lagi pula dia hanya masuk kelas kalian berdua bukan,” lirik Farel kepada Arum dan Amanda. Ya, Arum dan Amanda berada di kelas IPS, sementara tiga lainnya di kelas IPA.
“Itu benar juga, kalian tidak asik. Sudahlah,” kesal Arum sambil mengebrak meja, lalu berdiri dan pergi begitu saja.
Keempat temannya hanya saling menatap, bingung dan khawatir.
“Apa dia akan melanjutkan kuliah? Kenapa dia tidak mau belajar,” ujar Farel sambil memandangi punggung Arum yang menjauh.
“Aku sudah bertanya, tapi dia bilang ingin keluar dari rumah itu. Dia tidak akan bertahan di rumah itu jika bukan karena adik tiri nya yang baik kalau ibu nya sih tiap hari marah mulu kata nya,” jelas Amanda, suaranya melembut penuh simpati.
“Kadang aku kasihan dengan dia. Bentuk jahil nya adalah pelampiasan rasa lelah dan sedih nya di rumah, tapi dia tidak bisa terus seperti ini,” sambung Killa.
“Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Kalian ga mau sarapan? Aku traktir,” ucap Farel berusaha mengubah suasana.
“Asik,” seru mereka serempak, meski pikiran mereka tetap tertuju pada Arum.
---
Di tempat lain, seorang pria tampan baru turun dari mobil mewah yang diparkir di halaman sekolah. Alaska Arnolda sosok yang jauh dari kata sederhana meski ia tengah menyamar menjadi guru biasa.
Penampilan Aska hari ini sangat berbeda. Jika biasanya ia tampil bebas dan modis, kini ia mengenakan celana bahan rapi, kemeja putih lengan panjang, dan kacamata berbingkai tebal yang membuatnya terlihat sedikit culun. Ia bahkan membawa beberapa buku dan map agar semakin meyakinkan.
Tentu saja, seluruh itu hanya kedok. Ketampanan Aska yang merupakan campuran darah Eropa tetap memancar. Tingginya hampir 187 cm, hidung mancung, kulit terang, serta tahi lalat kecil di bawah bibirnya justru membuat para siswi terpana.
“Gila siapa itu?”
“Ganteng banget?”
“Guru baru kah?”
“Anak kepala sekolah kali?”
“Beneran ganteng banget…”
Bisikan-bisikan itu menyebar seperti angin. Para siswi menatapnya seolah sedang melihat aktor drama Korea turun dari langit.
Aska mengangkat wajah sedikit, menatap sekeliling, lalu bertanya sopan kepada salah satu siswi. “Maaf, ruang kepala sekolah di mana?”
“Di di depan sana belok kanan pak, mau saya antarkan?” tawar siswi itu dengan pipi memerah.
“Ah tidak perlu terimakasih,” jawab Aska sambil berlalu.
Ia memasuki ruangan kepala sekolah dan disambut hangat. Kepala sekolah sudah diberi tahu sebelumnya bahwa guru baru, yang masih muda dan berkompeten, akan mengajar di kelas 3 IPS.
“Selamat pak Alaska, semoga anda bisa memberikan kontribusi dengan baik tapi emang anak IPS itu agak nakal, semoga anda betah,” ujar kepala sekolah sambil menghela napas.
“Tidak masalah, saya tau melakukan arahan yang baik dengan cara saya sendiri pak kepala sekolah,” jawab Aska tenang namun penuh keyakinan.
Setelah berbasa-basi sebentar, bel masuk berbunyi. Suara langkah kaki murid-murid memenuhi koridor.
Aska berjalan menuju kelas IPS 5, ruangan yang akan menjadi tempat ia mengajar setiap hari.
Namun saat ia masuk, pemandangan pertama yang ia lihat jauh dari kata normal.
Di sudut kelas, Arum sedang memasukkan seekor kodok kecil ke dalam laci meja temannya. Senyum nakal menghiasi wajahnya. Amanda, yang kebetulan melihat, hanya bisa menutup muka.
“Loh ini yang gerak gerak apa ya?” tanya siswi yang duduk di meja itu ketika membuka laci untuk mengambil buku.
“Arghhh Arummm!! Kodok!!” teriaknya panik.
Seketika kelas heboh. Semua murid berteriak, beberapa melompat dari kursinya, suasana kacau tak berbentuk. Dan tepat saat kekacauan mencapai puncaknya, Alaska Arnolda masuk dengan ekspresi antara pasrah dan menghela napas panjang.
Bukan hal yang ia bayangkan untuk hari pertamanya.
Tatapannya langsung tertuju pada gadis di bangku belakang yang sedang tertawa keras tanpa rasa bersalah.
“Nama kamu siapa?”
Arum yang masih tertawa langsung terdiam. “Arum, Pak.”
“Baik. Arum, kamu yang pertama saya panggil kalau saya ingin tahu siapa biang kerok di kelas ini.”
...----------------...
Hai Reader! Tambahkan cerita ini ke daftar favorit kalian biar nggak ketinggalan update bab terbaru.