Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di balik cahaya
Langit Jakarta siang itu lagi cerah-cerahnya, tapi di balik kaca gedung yang tingginya kayak mau nyium langit, Fandi Dirgantara ngerasa dunia ini sepi banget.
Dia berdiri di depan jendela kantornya, jas itemnya udah kayak nempel di badan, dasinya abu-abu, mukanya lempeng aja. Dari luar sih, orang ngeliat dia sebagai anak muda tajir yang sukses ngembangin lagi bisnis keluarganya.
Tapi, di balik muka datarnya itu, ada sesuatu yang kayak gejolak terus di matanya. Sesuatu yang bahkan temen deketnya aja jarang yang ngeh.
Tiba-tiba ada yang ngetok pintu.
Tanpa nengok, Fandi nyaut, “Masuk!”
Masuklah Kei, badannya kurus, rambutnya agak berantakan, sambil bawa tablet. Dia ini kepala riset di kantornya, plus temen lama dari jaman kuliah.
“Rapat sama investor Jepang jam dua diundur, Fan. Mereka minta waktu tambahan buat video conference,” katanya nyantai.
Fandi cuma ngangguk. “Siapin datanya yang bener. Jangan sampe ada yang salah.”
Kei langsung nyahut, “Elu mah gitu mulu, kayak dunia mau kiamat aja kalo ada angka yang salah.”
Fandi ngelirik dia sebentar, terus senyum tipis. “Ya emang bisa aja kan?”
Kei ketawa kecil, terus duduk di sofa kulit di pojokan ruangan. “Serius amat sih, Bro. Santai dikit napa? Lu udah punya semua yang orang pengen—duit, perusahaan, nama baik. Tapi muka lu kayak nggak pernah bahagia.”
Fandi diem bentar, terus ngeliat lagi ke luar jendela, ke jalanan macet di bawah sana.
“Bahagia itu relatif, Kei,” katanya pelan. “Kadang yang punya segalanya malah kehilangan hal yang paling sederhana.”
Kei bingung. “Lu ngomong apaan sih?”
“Ah, nggak penting.” Fandi nyudahin obrolan itu sambil senyum tipis.
Pintu kebuka lagi. Sekarang Alfin yang masuk, badannya tegap, rambutnya cepak, mukanya serius tanpa basa-basi.
“Mobil udah siap di basement. Mau makan siang di tempat biasa?” tanyanya singkat.
Fandi nengok, ngeliat jam tangannya, terus jawab, “Nggak. Kita makan di luar, tapi tempatnya yang agak sepi. Pengen nyari angin.”
Kei ngeliatin dua temennya itu gantian, terus ngangkat alis. “Nyari angin di Jakarta? Nggak salah denger gue?”
“Kadang sepi itu lebih penting daripada angin,” jawab Fandi datar.
Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, jalan di lorong panjang yang dindingnya kaca semua, jadi bayangan mereka keliatan.
Tiga cowok dengan aura yang beda-beda: Fandi yang tenang tapi bikin ngeri, Kei yang santai tapi pinter, sama Alfin yang dingin kayak es batu.
Buat karyawan lain, mereka keliatan kayak tim yang sempurna—bos, orang pinter, sama bodyguard setia.
Lift berhenti di lobi utama. Langkah Fandi Dirgantara kedengeran firm banget di antara lantai marmer putih sama lampu kristal yang kinclong.
Kei jalan di sebelahnya, pake kemeja item yang agak lecek, sementara Alfin ngikutin dari belakang, tegap kayak patung.
Kei: “Fan, lo ngeh nggak sih? Orang-orang di kantor tuh kayak nahan napas tiap kali lo lewat.”
Fandi: “Mereka digaji buat kerja, bukan buat ngagumin gue.”
Kei: “Bener juga sih, tapi muka lo itu loh. Coba senyum dikit aja, mungkin saham perusahaan bisa naik dua persen.”
Alfin: “Kei, lu kebanyakan bacot.”
Kei: “Yaelah, Fin. Gue kan cuma becanda. Hidup lu berdua kaku amat sih.”
Fandi mencet tombol di remote mobilnya. Sebuah Rolls-Royce item berhenti di depan pintu kaca gede, sopirnya langsung bukain pintu.
Mereka bertiga masuk, terus mobilnya langsung ngacir ke arah SCBD — tempatnya bisnis sama restoran mewah di Jakarta.
Kei: “Jadi, makan di mana nih kita?”
Fandi: “Ariston Lounge.”
Kei: “Yang di rooftop itu? Wah, akhirnya! Gue udah lama pengen nyobain steak di situ.”
Alfin: “Lu kan nggak pernah bayar sendiri.”
Kei: “Ya makanya gue seneng punya temen tajir kayak Fandi.” Ujarnya tersenyum tipis sambil menaiki alis nya
Alfin:”Iyalah,yang gratisan aja cepat lu”
Kei:”Beh,kan gratis jangan sungkan nanti lapar” ujar kei tidak mau kalah sedangkan alfin tampak melengos
Tak lama Mobil berhenti di depan restoran yang arsitekturnya modern banget, kacanya tinggi, lampunya kuning keemasan. Begitu masuk, suasananya langsung beda—ada musik jazz lembut, bau daging panggang yang bikin laper, sama pemandangan kota dari lantai 50.
Seorang pelayan langsung nyamperin.
Pelayan: “Selamat siang, Tuan Dirgantara. Meja Anda sudah disiapkan.”
Fandi: “Hanya mengangguk saja.”
Mereka duduk di meja deket jendela gede. Dari situ, Jakarta keliatan kayak miniatur di bawah langit biru.
Kei: “Kadang gue mikir, hidup lo tuh sempurna banget, Fan. Duit banyak, kekuasaan ada, muka juga nggak kalah dari model iklan parfum.”
Fandi: (senyum tipis) “Kesempurnaan itu cuma keliatan dari luar. Dalemnya belum tentu.”
Kei: “Wah, dalem banget tuh kata-katanya. Lo lagi mikirin apaan sih?”
Fandi: “Nggak. Gue cuma… inget seseorang.”
Alfin: “Masa lalu?”
Fandi: (ngeliat ke luar jendela) “Lu kebanyakan nebak, Fin.”
Pelayan dateng bawa tiga gelas air mineral dingin sama daftar menu.
Pelayan: “Apakah Tuan sudah ingin memesan?”
Fandi: “Steak tenderloin medium rare. Salad tanpa saus.”
Kei: “Wah, standar sultan. Gue chicken parmigiana aja deh.”
Alfin: “Black pepper steak. Sama lemon tea.”
Pelayan: “Baik, mohon tunggu sebentar.”
Begitu pelayannya pergi, Kei nyender di kursinya.
Kei: “Jujur deh, Fan, lo nggak pernah santai ya? Bahkan makan aja muka lo kayak lagi rapat direksi.”
Fandi: “Kalo lu tau apa yang gue liat tiap hari, lu juga nggak bakal tenang.”
Kei: “Maksud lo?”
Fandi: (diem sebentar, terus senyum tipis) “Lupain aja. Nikmatin makan siang lu.”
Beberapa menit berlalu dalam diem yang enak. Musik jazz lembut ngisi udara. Dari luar, matahari nyorot kaca dan mantulin wajah Fandi—tenang, tapi di matanya ada sesuatu yang berat.
Alfin: “Lo tau nggak, Fan. Tatapan lo tuh kayak orang yang nyembunyiin banyak banget hal.”
Fandi: “Mungkin. Tapi kadang, rahasia itu lebih aman kalo tetep disimpen.”
Kei: “Ya ampun, kalimat lo selalu kayak di film. Kapan sih lo terakhir ketawa beneran?”
Fandi: “Gue lupa.”ujarnya datar
Kei ketawa kecil, tapi diem-diem ngeliatin Fandi lama-lama.
Setelah beberapa menit mereka makan bayar pergi begitu saja
Mobil item itu berhenti di depan Dirgantara Corp Tower, salah satu gedung yang paling tinggi di Jakarta.
Cahaya sore mantul di kaca-kaca raksasa, bikin silau keemasan yang nutupin ambisi dingin di dalemnya.
Fandi turun duluan. Kei sama Alfin langsung nempel di kiri-kanannya — langkah mereka kompak, rapi, dan berwibawa banget.
Kei: “Investor dari Jepang itu… siapa namanya tadi?”
Alfin: “Tuan Hiroshi Tanaka. CEO Tanaka Holdings.”
Kei: “Oh, yang katanya perfeksionis abis itu?”
Alfin: “Ya. Satu kesalahan kecil aja bisa bikin kontrak batal.”
Kei: (ngelirik Fandi) “Tapi kayaknya dia belom pernah ketemu orang yang lebih dingin dari bos kita.”
Fandi: (muka datar) “Kei, fokus.”
Kei: “Siap, Tuan besar.”ucao terkikik
Mereka jalan ngelewatin lobi yang gede banget. Para karyawan langsung nunduk pas Fandi lewat.
Lift khusus VIP kebuka, terus mereka bertiga masuk.
Kei: “Fan, lo nggak deg-degan ketemu investor sekelas dia?”
Fandi: “Nggak. Justru mereka yang harusnya deg-degan.”
Kei: “Waduh… kata-kata sultan.”
Alfin: “Lu kebanyakan omong.”
Kei: “Kalian berdua emang tim es batu sejati.”
Lift berhenti di lantai paling atas. Ruang rapatnya luas banget, jendelanya kaca semua, jadi bisa ngeliat pemandangan Jakarta sore.
Di ujung meja, Tuan Hiroshi Tanaka udah nunggu — bapak-bapak setengah baya pake jas abu-abu, mukanya tegas, matanya tajem kayak pedang.
Tanaka: “Dirgantara-san. It’s a pleasure to finally meet you.”
(Dirgantara-san. Senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda.)
Fandi: “Likewise, Mr. Tanaka. I’ve heard a lot about your company’s precision.”
(Sama-sama, Tuan Tanaka. Saya sudah banyak mendengar tentang ketepatan perusahaan Anda.)
Tanaka: “Precision is everything in our line of work.”
(Ketepatan adalah segalanya dalam bidang kami.)
Kei (bisik-bisik ke Alfin): “Wah, duel tatapan dingin nih. Dua-duanya nggak mau ngalah.”
Alfin: “Diem. Ini bukan tempat buat becanda.”
Tanaka ngebuka map item di depannya.
Tanaka: “I’m interested in your proposal. But I need assurance — that your company can deliver results faster than your competitors.”
(Saya tertarik dengan proposal Anda. Tapi saya butuh jaminan bahwa perusahaan Anda bisa memberikan hasil lebih cepat dari pesaing lain.)
Fandi: “Results don’t just depend on speed, Mr. Tanaka. They depend on control. And that’s something we never lose.”
(Hasil tidak hanya bergantung pada kecepatan, Tuan Tanaka. Tapi pada kendali. Dan itu hal yang tidak pernah kami lepaskan.)
Tanaka ngeliatin Fandi dalem-dalem.
Tanaka: “You speak with confidence. I like that.”
(Anda berbicara dengan percaya diri. Saya suka itu.)
Fandi: “Confidence comes from knowing what others can’t.”
(Kepercayaan diri datang dari mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang lain.)
Kei nahan ketawa kecil.
Kei (pelan): “Kata-katanya berat banget. Gaya abis bos kita ini.”
Alfin: “Fandi bukan orang yang ngomong tanpa maksud.”
Tanaka akhirnya berdiri terus ngulurin tangan.
Tanaka: “I’ll sign the preliminary agreement tomorrow. I want to see your factory site next week.”
(Saya akan menandatangani perjanjian awal besok. Saya ingin melihat lokasi pabrik Anda minggu depan.)
Fandi: “You’ll have full access. And you’ll see why we’re different.”
(Anda akan mendapatkan akses penuh. Dan Anda akan tahu kenapa kami berbeda.)
Tanaka: “I look forward to it.”
(Saya menantikan itu.)
Begitu Tanaka pergi, Kei langsung nyender di kursi.
Kei: “Aduh! Gue deg-degan banget tadi. Aura dua orang dingin di ruangan yang sama tuh bahaya buat jantung.”
Fandi: (nyimpen dokumen ke map kulit item) “Dia orang pinter. Tapi masih percaya semua bisa dibeli pake duit.”
Alfin: “Kalo lo?”
Fandi: (ngeliatin langit Jakarta yang mulai gelap) “Gue tau, ada hal-hal yang cuma bisa ditebus pake darah.”
Kei diem. Suara jam dinding kedengeran jelas banget.
Fandi berdiri pelan-pelan, benerin jas itemnya.
Fandi: “Siapin mobil.”
Kei: “Kita balik?”
Fandi: “Nggak. Malam ini… kita kerja.”
Kei ngeliatin Alfin, terus ngangguk pelan.