"Di Bawah Langit yang Sama" adalah kisah tentang dua jiwa yang berbagi ruang dan waktu, namun terpisah oleh keberanian untuk berbicara. Novel ini merangkai benang-benang takdir antara Elara yang skeptis namun romantis, dengan pengagum rahasianya yang misterius dan puitis. Saat Elara mulai mencari tahu identitas "Seseorang" melalui petunjuk-petunjuk tersembunyi, ia tak hanya menemukan rahasia yang menggetarkan hati, tetapi juga menemukan kembali gairah dan tujuan hidupnya yang sempat hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisnu ichwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma hujan pertama dan sepucuk surat tanpa nama
Matahari sore merayap malu-malu di balik awan tebal, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga keunguan yang dramatis. Udara terasa lembap dan berat, menjanjikan hujan yang telah lama dinanti. Di tengah bising klakson dan deru mesin, Elara menarik napas dalam-dalam, aroma debu jalanan bercampur bau tanah basah menyeruak. Itu adalah aroma hujan pertama, selalu membawa nostalgia dan janji yang tak pernah terwujud sempurna.
Elara duduk di bangku kayu usang halte bus di pinggiran kota, menanti bus nomor 117 yang selalu datang terlambat. Hari ini adalah hari terakhirnya di kantor majalah tempat ia magang selama enam bulan. Sebuah perpisahan yang terasa biasa saja; tidak ada pesta heboh, hanya ucapan selamat tinggal yang tergesa-gesa dan sepiring kue cokelat dari kepala redaksi. Karier impiannya terasa masih sejauh galaksi Bima Sakti.
Tangannya menggenggam erat tas kanvas lusuh berisi laptop, dompet, dan sebuah novel sastra yang halaman-halamannya sudah melengkung karena sering dibaca. Matanya menerawang ke jalanan yang mulai basah oleh rintik-rintik pertama. Ia adalah seorang pemimpi di kota yang terlampau realistis, seorang penyair di tengah hiruk pikuk prosa.
Saat ia sedang asyik memperhatikan seorang pedagang kopi keliling yang buru-buru menutup gerobaknya, sekelebat pandangan matanya menangkap sesuatu di celah antara bangku dan dinding halte. Benda itu kecil, putih, dan tampak mencolok di tengah kayu yang kusam.
Elara membungkuk. Itu adalah sebuah amplop—amplop putih polos dengan sudut yang sedikit lecek, tanpa perangko atau alamat yang tertulis di depannya. Di bagian tengah, hanya tertera satu baris tulisan tangan dengan tinta hitam yang rapi:
Kepada Sang Penunggu Senja.
Jantung Elara berdesir aneh. Ia memang sering menghabiskan waktu di halte ini saat senja, menunggu bus sambil membaca, merenung, atau sekadar menonton orang-orang berlalu-lalang. Apakah surat ini untuknya?
Ragu-ragu, ia membalik amplop itu. Tidak ada nama pengirim. Hanya segel lilin berwarna biru laut yang sudah agak retak, menempel di lipatan belakang. Rasa penasaran mengalahkan rasa waswasnya. Tanpa berpikir panjang, Elara merobek perlahan segel lilin tersebut.
Di dalamnya, hanya ada selembar kertas tebal yang dilipat dua. Tulisannya indah dan formal, seperti aksara dari zaman lampau.
Sang Penunggu Senja,
Jika kau menemukan surat ini, berarti kau adalah orang yang selalu melihat langit ini sama seperti aku melihatnya—penuh janji dan kekecewaan yang beriringan. Kau yang duduk di bawah lampu temaram, dengan tatapan yang selalu mencari sesuatu di kejauhan.
Aku tidak tahu namamu, tapi aku tahu tatapanmu. Aku tahu cara jemarimu membalik halaman buku dengan hati-hati. Aku tahu kau mendengarkan melodi yang hanya kau yang bisa dengar di tengah kebisingan ini.
Kita berbagi langit yang sama, tapi mungkin nasib yang berbeda. Aku menulis ini karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, sesuatu yang tidak bisa kuucapkan dengan suara.
Dengarkanlah hujan. Dia akan memberitahumu, bahwa setiap akhir adalah awal dari kelembapan baru.
Tersenyumlah. Sampai jumpa di bawah langit yang sama, lagi.
—Seseorang.
Elara membacanya dua kali. Kertas itu terasa dingin di tangannya, tapi kata-katanya memancarkan kehangatan yang tak terduga. Sebuah surat tanpa nama, dari seseorang yang seolah mengenalnya tanpa pernah berbicara dengannya. Ia merasa seolah ditarik masuk ke dalam sebuah adegan film romantis yang konyol, namun pada saat yang sama, terasa sangat nyata.
Hujan kini turun semakin deras, memukul atap halte dengan irama yang mendesak. Bayangan bus 117 mulai terlihat di kejauhan, lampu depannya membelah tirai air. Elara melipat surat itu dengan hati-hati dan menyelipkannya di antara halaman novelnya, tepat di bagian yang ia tandai terakhir.
"Siapa kau, Seseorang?" bisiknya pelan, menatap hujan yang kini membanjiri jalanan.
Ia naik ke dalam bus, mencari tempat duduk di dekat jendela. Begitu bus melaju, ia menoleh ke belakang, ke arah halte yang kini kosong dan gelap, diterangi samar-samar oleh lampu jalan. Di tengah derasnya hujan, ia bersumpah melihat siluet seseorang berdiri di seberang jalan, di balik kanopi sebuah toko kelontong yang sudah tutup.
Siluet itu tinggi, mengenakan jaket gelap, dan hanya berdiri di sana, menatap lurus ke arah bus yang ditumpanginya. Elara menahan napas. Sebelum ia bisa melihat wajahnya, bus itu berbelok tajam, dan siluet itu hilang ditelan malam.
Elara menyentuh surat di dalam tasnya. Pertanyaan yang lebih besar kini menghantui pikirannya: apakah "Seseorang" itu yang baru saja berdiri di sana, di bawah langit yang sama, melihatnya pergi? Dan yang lebih penting, apakah ini awal dari sebuah pertemuan, atau hanya sebuah perpisahan puitis yang ia temukan secara kebetulan?